Mengenal Periodisasi Sastra Indonesia
Priode-Priode Sastra Indonesia
Secara urutan waktu, maka sastra Indonesia terbagi atas sepuluh angkatan, sebagai berikut1. Angkatan Pujangga Lama
Pada angkatan pujangga lama, pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20.
Pada Angkatan Pujangga Lama, karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat.
Tokoh yang terkenal pada angkatan pujangga lama adalah Hamzah Fansuri, yang merupakan penulis pertama, di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama.
2. Angkatan Sastra Melayu Lama
Angkatan Sastra Melayu Lama didasarkan pada karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870–1942.
Karya sastra melayu lama berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera, orang Tionghoa, dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra melayu lama pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat.
3. Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka adalah karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, oleh penerbit Balai Pustaka.
Prosa (roman, novel, cerita pendek, drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Nur Sutan Iskandar sering disebut sebagai Raja Angkatan Balai Pustaka, karena ada banyak sekali karya tulisnya pada masa tersebut.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
4. Angkatan Pujangga Baru
Pada masa angkatan pujangga baru, terbit majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis, dan elitis. Novel angkatan ini, Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia.
Selain Layar Terkembang, pada periode pujangga baru, novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
5. Angkatan 1945
Karya sastra angkatan tahun 1945 lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Pada angkatan 1945, banyak karyanya yang bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar.
Sastrawan angkatan 1945 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode 1945 ini, cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
6. Angkatan 1950 sampai 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin.
Ciri angkatan 1950 sampai 1960 adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah ini bertahan hingga tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat atau Lekra yang berkonsep sastra realisme-sosialis di Indonesia.
7. Angkatan 1966 sampai 1970-an
Angkatan 1966 sampai 1970 ditandai dengan terbitnya Horison yang merupakan majalah sastra pimpinan Mochtar Lubis.
Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd.
Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
8. Angkatan 1980 sampai 1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut, yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
9. Angkatan Reformasi
Sastrawan Angkatan Reformasi muncul ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi.
Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra–puisi, cerpen, dan novel–pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com-nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
10. Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000.
Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002 pada masa ini.
Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. (Sumber: Wikipedia)